Melaut di Natuna KKP Larang Nelayan Gunakan Cantrang


Melaut di Natuna KKP Larang Nelayan Gunakan Cantrang

NATUNA I KEJORANEWS.COM : Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberlakukan peraturan pelarangan cantrang mulai 1 Juli 2017. Sebagai gantinya, KKP merekomendasikan nelayan agar bisa berpindah ke alat tangkap ramah lingkungan dan memberi waktu transisi bagi nelayan untuk mengubah alat tangkap. Meski begitu, selama masa transisi, banyak nelayan mengaku mendapatkan hasil tangkapan melimpah, terutama di perairan Natuna dan Arafura.

Berdasarkan data dari KKP per hari Selasa 2 Mei 2017, Laut Natuna masuk dalam Wilayah Pengolahan Perikanan (WPP) 711, termasuk Selat Karimata dan Laut China Selatan. Laut Arafura masuk dalam WPP 718 yang juga meliputi Laut Aru dan Laut Timor bagian Timur. WPP 711 menunjukan potensi ikan pelagis kecil sebanyak 395.451 ton, ikan pelagis besar 198.994 ton, ikan demersal 400.517 ton, ikan karang 24.300 ton, udang penaeid 78.005 ton, lobster 979 ton, kepiting 502 ton, rajungan 9.437 ton dan cumi-cumi 35.155 ton. Wilayah 711 ini memiliki total potensi tangkapan 1.143.340 ton.

“ Target tangkapan dari alat penangkap gill net adalah ikan pelagis dan demersal pada WPP 711 dan 718,” kata Kasubdit Alat Penangkapan Ikan Ditjen Perikanan Tangkap KKP, Endroyono dilansir dari newsKKP.go.id.

Kedua wilayah laut tersebut sebelumnya dikuasai oleh kapal tangkap milik asing baik yang legal dan ilegal. Kini, KKP memutuskan kedua wilayah kaya ikan berkualitas itu khusus untuk nelayan dalam negeri dengan syarat mengikuti regulasi pemerintah, salah satunya tak menggunakan cantrang tetapi gill net.

Berdasarkan Permen KP No 30/2012 sebagaimana telah diubah dengan No 26/2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap WPP, untuk menangkap ikan di dua wilayah itu diwajibkan memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Kewenangan ketiga izin tersebut diberikan kepada dua pihak yakni Ditjen Perikanan Tangkap KKP untuk kapal kapasitas 30 GT ke atas dan Gubernur untuk kapal di bawah 30 GT. Tiga izin tersebut hanya bisa diberikan kepada kapal yang tidak memalsukan bobotnya menjadi di bawah 30 GT.

“Ada pun tata cara dan prosedur penerbitan SIUP, SIPI dan SIKPI diatur lebih lanjut dalam Permen KP No 26/2013,” ujar Endroyono.
Kondisi laut di kedua wilayah ini cukup berbahaya untuk kapal kecil, sehingga hanya bisa diarungi oleh kapal berkapasitas di atas 30 GT. KKP juga akan melakukan pendekatan ke industri galangan kapal agar mampu memproduksi kapal yang berkualitas dan modern.

“Upaya mengisi kekosongan di WPP 711(laut natuna-red), dilakukan dengan cara relokasi kapal dari daerah yang padat seperti Laut Jawa. Namun kapal yang akan beralih ke kedua wilayah ini harus memiliki kelaikan operasi untuk mengimbangi kondisi laut,” imbuhnya.

Adw

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama