JAKARTA I KEJORANEWS.COM : Penyidik yang sebelumnya hanya
memberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada pihak
Penuntut Umum, namun kini juga diwajibkan menyampaikan hal tersebut
kepada Terlapor dan juga Pelapor/Korban.
Ketentuan baru Hukum Acara Pidana itu berlaku sejak Mahkamah Konstitusi
(MK) dalam putusanya Nomor 130/PUU-XIII/2015 mengabulkan judicial review
atau uji materi atas Pasal 109 ayat (1) KUHAP, yang dibacakan di
Persidangan MK, Rabu 11 Januari 2017.
Dalam putusan yang dibacakan Ketua MK, Arief Hidayat tersebut, MK memutuskan:
“Menyatakan Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa
‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai
penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada
penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7
hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan".
Dengan demikian, ke depanya, setiap proses penyidikan sebuah tindak
pidana yang dilakukan penyidik, untuk waktu paling lama 7 hari, SPDP
sudah harus disampikan tidak hanya kepada Penuntut Umum, tetapi juga
kepada Terlapor dan juga Pelapor/Korban.
Sebelumnya, Pasal 109 ayat (1) KUHAP berbunyi:
“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum".
Putusan tersebut diberikan atas permohonan uji materi yang diajukan para
pemohon yakni, Choky Risda Ramadhan (Pemohon I), Carlos Boromeus
Beatrix, Tuah Tennes (Pemohon II), Usman Hamid (Pemohon III), dan Andro
Supriyanto (Pemohon IV) karena para pemohon dirugikan dengan
pemberlakuan Pasal 14 b dan I, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1)
dan (2), serta Pasal 139 terkait penundaan pemberian SPDP dari penyidik
kepada penuntut umum.
Namun MK hanya mengabulkan permohonan para pemohon sebatas pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP, selebihnya ditolak.
Kepastian Hukum
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa:
“MK melihat adanya keterlambatan mengirimkan SPDP dari penyidik
kepada jaksa penuntut umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan
pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan itu menyebabkan tidak adanya
kepastian hukum terkait penanganan perkara tersebut,” demikian bunyi
pertimbangan Mahkamah".
Menurut MK, penyampaian SPDP kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban
penyidik untuk menyampaikannya sejak dimulainya proses penyidikan,
sehingga proses penyidikan tersebut berada dalam pengendalian penuntut
umum dan pemantauan terlapor dan korban/pelapor.
Faktanya, yang terjadi selama ini kadangkala SPDP baru disampaikan
setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan tertundanya
penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurutnya hal
tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law
seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah berpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada
jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi
juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor. Karena
itu,terpenting bagi MK menyatakan pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan
terhadap jaksa penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap pelapor
dan korban/pelapor.
Alasan Mahkamah didasarkan pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang
telah mendapatkan SPDP,yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan
pembelaan dan dapat menunjuk penasihat hukumnya. Sedangkan bagi
korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan
atau bukti yang diperlukan dalam pengembalian penyidikan atas
laporannya.
Atas dasar itu, menurut Mahkamah, dalil permohonan yang diajukan para
pemohon bahwa SPDP tersebut bersifat wajib beralasan menurut hukum.
Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya dengan jaksa penuntut
umum, akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan
korban/pelapor.
Kasus Menggantung
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan
Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menyambut
baik atas putusan MK tersebut. Para aktivis MaPPI dan LBH Jakarta yang
mengajukan judicial review Pasal 109 ayat (1) ini mengatakan, putusan MK
tersebut adalah sebuah kemenangan bagi masyarakat Indonesia.
LBH Jakarta dan MaPPi FHUI mengungkapkan, ada sekitar 255.618 perkara
penyidikan yang tidak disertai dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP).
"Tercatat setidaknya ada 255.618 perkara penyidikan yang tidak disertai
SPDP dan 44.273 berkas perkara yang menggantung di proses di
penuntutan," kata Arif Rahman, pengacara publik dari LBH Jakarta, Jumat
(13/1).
Puluhan ribu penyidikan tanpa SPDP dan kasus yang mengantung tersebut,
itu terjadi pada tahun 2012 hingga 2014 berdasarkan hasil penelitian LBH
Jakarta dan MaPPI FHUI.
"Ternyata selama ini, masalah kriminalsasi, undue delay, korupsi di
kepolisian, salah tangkap, penyiksaan itu ternyata akibat proses pra
penuntutan yang menempatkan kepolisian atau penyidik mempunyai
kewenangan dan upaya paksa yang besar. Tapi kontrol dari kejaksaan itu
minimalis, kontrol dari publik itu minimalis," katanya.
Akibat pengawasan yang tidak efektif terhadap proses penyidikan di
kepolisian, baik itu yang dilakukan jaksa dan publik, maka terjadi
hal-hal negatif yang terus menerus.
"Akhirnya pengawasannya tidak efektif dan efisien dan terjadi
praktik-praktik laten itu terus menerus. Ini problem besar di KUHAP kita
dan sekarang kita perjuangkan untuk direformasi," katanya.
Sumber: mejahijau.net/ Hukum Online dan Gatra
Posting Komentar