BATAM I KEJORANEWS.COM : Ketika
berjumpa dengan mantan pejabat tinggi di DPRD Kota Batam pada 18/10 lalu, kru
kejoranews.com di dampingi beberapa rekan wartawan online secara tersirat “mengetahui”
bahwa isu raibnya dana dalam jumlah Miliaran dari Gedung DPRD Kota Batam bukan
sekedar isapan jempol saja.
Sang pejabat
sendiri juga mengakui bahwa dirinya sudah di panggil walikota dan di mintai
pertanggung jawaban untuk mengembalikan dana tersebut. Pejabat berinisial Mr
ini mengakui bahwa dirinya sampai menjual rumah mewah miliknya untuk
mengembalikan dana “raib” yang kabarnya nilainya mencapai hampir Rp 5 ( lima )
Miliar tersebut.
Rudi selaku
walikota Batam di duga keras tidak mau membawa kasus ini ke ranah hukum, terhadap pejabat Mr, Rudi hanya memanggil yang bersangkutan, memintanya
mengembalikan keuangan Negara dan kemudian menonaktifkan posisi mr.
Tindakan
yang di lakukan Rudi ini lah yang menjadi pertanyaan, mengetahui ada kejadian
pelanggaran tetapi tidak mengambil tindakan sesuai dengan peraturan yang ada.
Sayang ketika di konfirmasikan kepada Rudi melewati pesan singkat Rudi hanya
diam dan tidak memberikan komentar balasan sama sekali.
Padahal,
merujuk pada pasal 2 UU 31/1999 serta penjelasannya, antara lain
diketahui bahwa unsur dapat merugikan negara dalam tindak pidana korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya
akibat. Dengan demikian, suatu perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan
negara sudah dapat dikategorikan sebagai korupsi.
Terkait
dengan masalah uang yang di kembalikan Mr, maka tidak dengan serta merta urusan
pidana Mr juga selesai. Dalam pasal 4
UU 31/1999 dinyatakan antara lain bahwa pengembalian kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tersebut.
Ancaman terhadap pelaku yang merugikan keuangan
Negara bukannya tidak main main. Hukuman mati
juga dapat di kenakan jika memang terbukti bersalah dan menurut
pertimbangan hakim. Ini dapat di lihat di pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”)
sebagai berikut:
Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Rudi sendiri dengan tindakan
pemakluman atas kejadian bisa di sebut bersubahat ataupun bersekutu. Hal ini
jelas melanggar Pasal 23 UU Tipikor tersebut merujuk pula pada Pasal
421 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: “Seorang
pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Tim
Posting Komentar